CAPITALNEWS.ID – Kementerian Keuangan (Kemenkeu) menerima usulan Badan Akuntabilitas Keuangan Negara (BAKN) DPR RI soal tarif cukai Minuman Berpemanis Dalam Kemasan (MBDK) pada 2025 sebesar 2,5%.
Menurut Direktur Jenderal Bea dan Cukai, Askolani, usulan tersebut sejauh ini diterima sebagai rekomendasi, namun keputusannya diserahkan kepada pemerintahan berikutnya. “Itu rekomendasi saja. Tapi nanti tergantung pemerintah tahun depan,” katanya, di Jakarta, Selasa (10/9/2024).
Meski begitu, dia menyebut berbagai aspek akan dipertimbangkan dalam menentukan tarif cukai MBDK, tergantung kondisi pada tahun depan. “Itu nanti kita lihat, sangat tergantung kondisi tahun depan,” katanya.
Sebelumnya, usulan tarif cukai MBDK sebesar 2,5% diungkapkan oleh BAKN DPR. Rapat Kerja dengan Kementerian Keuangan pada Selasa ini, Pimpinan BAKN DPR Wahyu Sanjaya menyampaikan tarif itu bertujuan untuk mengendalikan dan mengurangi dampak negatif konsumsi MBDK yang sangat tinggi.
BAKN mendorong agar pemerintah mulai menerapkan cukai MBDK untuk mengurangi dampak negatif tersebut. Di samping itu, juga untuk meningkatkan penerimaan negara dari cukai dan mengurangi ketergantungan dari cukai hasil tembakau (CHT).
“Kami merekomendasikan pemerintah untuk menerapkan cukai MBDK sebesar 2,5% pada 2025 dan secara bertahap sampai dengan 20%,” ujar Wahyu.
Selain cukai MBDK, pihaknya juga mendorong pemerintah untuk menaikkan CHT jenis sigaret putih mesin (SPM) dan sigaret kretek mesin (SKM) minimal lima persen setiap tahun selama dua tahun ke depan. Hal itu dalam rangka meningkatkan penerimaan negara dari CHT dan membatasi kenaikan CHT pada jenis sigaret kretek tangan (SKT) untuk mendorong penambahan penyerapan tenaga kerja.
Sebelumnya, Gabungan Produsen Makanan dan Minuman (GAPMMI) menolak rencana pemerintah untuk mengenakan cukai pada MBDK.
Menurut Ketua Umum GAPMMI, Adhi Lukman, bahwa penerapan cukai untuk produk MBDK dapat mengakibatkan kenaikan harga produk hingga 30 persen.
“Kenaikan harga produk akan jauh lebih tinggi dari yang diperkirakan. Cukai ini bisa bikin harga produk naik 30 persen, dan kalau pemerintah jadi mengenakan Rp1.700 per liter, dampaknya akan sangat besar,” ujar Adhi di Jakarta, Senin (4/9/2024).
Kenaikan harga ini, ungkap dia, akan sangat memberatkan konsumen, terutama di pasar makanan dan minuman yang saat ini sedang lesu.
Sebut Adhi, dalam perhitungan industri makanan dan minuman, termasuk pangan olahan, kenaikan harga 1 persen saja dapat menyebabkan penurunan pendapatan sekitar 1,7 persen. “Kenaikan harga 1 persen bisa menurunkan penjualan sebesar 1,7 persen. Jadi jika harga naik 20 persen, penjualannya bisa turun signifikan. Itu dampak yang luar biasa,” ucapnya.
(Red-01/*)