CAPITALNEWS.ID – Keterwakilan perempuan di DPR RI periode 2024-2029 meningkat 22,1 persen. Peningkatan itu menjadi yang terbanyak sepanjang sejarah.
Ketua DPR, Puan Maharani, berharap peningkatan keterwakilan perempuan di lembaga legislatif ini tidak hanya dari sisi kuantitas saja, tapi juga dari kualitas para legislator perempuan.
“Kita berharap peningkatan keterwakilan itu tidak hanya dari kuantitas, tapi juga kualitas. Dengan demikian, perempuan akan maksimal mewarnai semua proses di DPR RI,” kata Puan dalam keterangan tertulis, dikutip Sabtu (19/10/2024).
Seperti diketahui, perolehan kursi anggota perempuan di DPR periode 2024–2029 menjadi yang tertinggi dalam sejarah hasil Pemilu. Pada DPR periode ini, terdapat 127 perempuan yang mengisi kursi parlemen dari total 580 anggota dewan.
Meski belum mencapai target, peningkatan eterwakilan perempuan di DPR RI periode 2024-2029 dianggap sebagai sebuah pencapaian yang signifikan karena berhasil mencetak rekor baru.
Pada Pemilu 1999, presentase anggota DPR perempuan hanya 8,2%. Lalu di Pemilu 2004 ada di angka 11,5%.
Selanjutnya pada Pemilu 2009, anggota perempuan DPR ada 18%, Pemilu 2014 turun di angka 17,3%, Pemilu 2019 anggota DPR perempuan ada 20,5%, dan untuk Pemilu 2024 angkanya naik menjadi 21,9% atau ada 127 anggota dewan perempuan.
Dengan adanya peningkatan itu, Puan meyakini DPR dapat segera merealisasikan kebijakan afirmatif berupa 30% keterwakilan perempuan di parlemen.
“Kita berharap keterwakilan perempuan di parlemen segera mencapai 30 persen. Karena keterwakilan perempuan di parlemen dapat memperkuat kualitas demokrasi, parlemen akan lebih responsif terhadap berbagai persoalan di masyarakat,” jelas Puan.
Lebih lanjut, Puan juga mengingatkan kepada para anggota DPR perempuan untuk tidak menganggap keberhasilan ini hanya sebagai pencapaian angka semata. Menurutnya, peningkatan keterwakilan perempuan di DPR harus dilihat sebagai langkah maju dalam perjuangan pemberdayaan perempuan.
“Pencapaian ini menjadi langkah besar dalam mewujudkan politik yang lebih inklusif dan responsif terhadap berbagai isu, terutama terkait kesetaraan gender,” tutur Puan.
Puan mengatakan, keberhasilan perempuan melenggang ke Senayan menjadi bukti bahwa kesetaraan gender dalam politik bukanlah sekadar wacana saja, melainkan menjadi realitas yang dapat mengubah wajah legislasi nasional.
“Maka peningkatan keterwakilan perempuan di DPR harus bisa menghadirkan isu dan perumusan kebijakan yang responsif gender, karena perempuan yang paling tahu kebutuhan sesamanya,” jelas mantan Menko PMK itu.
Puan meminta anggota dewan perempuan untuk melanjutkan keberhasilan DPR periode sebelumnya, khususnya pada isu-isu perlindungan dan pemberdayaan perempuan.
Di bawah kepemimpinan Puan, DPR periode 2019-2024 berhasil menelurkan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS), yang telah diperjuangkan 10 tahun lamanya.
Bahkan, UU TPKS dianggap sebagai tonggak awal penghapusan kekerasan seksual di Indonesia yang telah menjadi fenomena gunung es.
“Perempuan parlemen harus membawa perspektif baru yang lebih komprehensif dalam proses pembuatan kebijakan, terutama dalam isu perlindungan perempuan dan anak, kesejahteraan keluarga, kesehatan reproduksi, hingga pemberdayaan ekonomi perempuan,” papar Puan.
Ia menambahkan, perempuan di DPR harus sensitif terhadap kebutuhan perempuan secara luas, termasuk yang berkaitan dengan isu anak dan keluarga mengingat mayoritas perempuan juga berstatus sebagai ibu dan istri
“Perempuan di DPR harus bisa membuat sebuah perumusan kebijakan atau undang-undang yang mampu mensejahterakan isu-isu perempuan dan anak. Termasuk dalam mengawal program-program Pemerintahan dan budgeting untuk kepentingan perempuan,” ujar Puan.
“Seperti Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2024 tentang Kesejahteraan Ibu dan Anak pada Fase Seribu Hari Pertama Kehidupan (UU KIA) yang telah disahkan oleh DPR periode lalu,” sambungnya.
UU KIA ini, sebut Puan, mendukung perempuan dalam memastikan anak-anak yang dilahirkan tumbuh dengan baik serta memberi dukungan bagi ibu bekerja untuk tetap bisa berkarya karena adanya jaminan tanggung jawab kolektif terhadap perkembangan anak.
Menurutnya, pembuatan UU sebagai bentuk pelaksanaan fungsi legislasi menjadi upaya DPR memenuhi kebutuhan publik dan gerakan sosial yang mendesak, contohnya dalam hal perlindungan hukum bagi korban kekerasan seksual.
“Perempuan kerap kali menjadi korban utama dari kebijakan yang kurang sensitif gender. Oleh karena itu, keterlibatan perempuan di ranah pembuat keputusan menjadi katalisator untuk menciptakan kebijakan yang lebih merata dan berdampak luas bagi seluruh masyarakat, terutama bagi mereka yang paling rentan,” urai Puan.
Puan menilai, momentum peningkatan keterwakilan perempuan di parlemen ini dianggap sebagai bukti bahwa perempuan mendapatkan hak dan kesempatan yang setara dalam setiap aspek kehidupan bernegara.
“DPR Baru, Harapan Baru, tidak boleh hanya dijadikan sebagai sebuah slogan, tetapi janji bahwa setiap individu, tanpa memandang gender, memiliki kesempatan yang sama untuk berkontribusi bagi kemajuan bangsa,” sebut cucu Bung Karno itu.
Puan meyakini, para anggota dewan perempuan, terutama yang baru duduk di kursi parlemen pada periode ini, dapat beradaptasi dengan cepat dan bekerja mengemban amanah rakyat.
“Saya tahu tidak mudah bagi saudari-saudari untuk bisa sampai di titik ini. Tapi percayalah, hasil tidak akan pernah mengkhianati usaha. Marilah kita menjadi Srikandi Rakyat dan berjuang demi terciptanya kesejahteraan bagi seluruh warga Indonesia,” pungkasnya.
(Red-01/*)